Minggu, 31 Mei 2009

Sabtu, 30 Mei 2009

Selasa, 26 Mei 2009

MENANAMKAN SIKAP TAUHID SEJAK DINI PADA ANAK

PANDAI MENSYUKURI NIMAT
Oleh :Munirul Ihwan[1]

A. Pendahuluan
Bersyukur kepada Allah, bersyukur sepanjang waktu, setiap langkahku, seluruh hidupku semoga diberkahi Allah, setiap nafasku seluruh hidupku semoga diberkahi Allah. Alhamdulillah wasyukurillah, bersyukur padamu ya Allah, Kau jadikan kami saudara, indahnya langkah bersamaan. Alhamdulillah wasyukurillah, bersyukur padamu ya Allah, kau jadikan kami saudara, hilanglah semua perbedaan. Demikianlah setidaknya syair-syair lagu yang di dalamnya memuat ungkapan syukur seorang hamba kepada Tuhannya.
Di dalam kehidupan manusia mendapatkan apa yang diinginkan merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Kegembiraan dan kebahagiaan sudah pasti akan mewarnai perasaannya. Akan tetapi tidak jarang orang yang tidak mengetahui dari mana asal dari kesenangan itu. Adakah kesenangan itu datang dengan sendirinya begitu saja ? Atau ada yang memberi kesenangan itu kepada manusia?
Di dalam ajaran agama Islam segala sesuatu kenikmatan atau kesenangan itu adalah anugerah yang datangnya dari Allah SWT. Allah menganugerahkan berbagai macam kesenangan agar manusia mempunyai kesempatan untuk beribadah kepada Allah dengan cara mensyukuri kesenangaan atau nikmat yang telah diterimanya itu. Allah SWT bukannya lantas menjadi lemah atau berkurang kemaha besaran-Nya apabila sekalipun semua manusia tidak bersyukur kepada-Nya. Akan tetapi peluang syukur terhadap nikmat-nikmat Allah yang telah diterima manusia adalah sebuah keberuntungan bagi manusia itu sendiri. Karena mengapa, syukur adalah ibadah, dan ibadah pastilah akan mendapatkan balasan dari Allah berupa kebaikan-kebaikan yang lain pada dirinya. Sesunggunyalah bahwa Allah tidak pernah mengharapkan balasan apapun atas semua pemberian-Nya itu. Dia hanya meminta kita bersyukur.[2]
Banyak sekali tanda-tanda kebesaran dan kemurahan Allah yang apabila kita memikirkannya pastilah akan menyebabkan kita akan senantiasa bersyukur kepada-Nya kapan dan di manapun berada. Marilah kita sejenak hanyutkan pikiran kita mengikuti aliran pikiran Iman al Ghazali yang mengungkapkan begitu banyak bukti-bukti kemurahan Allah terhadap makhluk-Nya. [3]
Betapa sungguh luar biasa Allah menciptakan matahari untuk alam ini terutama untuk kebutuhan manusia. Kita hanya cuba pikirkan dan bayangkan bagaimanalah seandainya Allah tidak menciptakan matahari, subhaanallah. Lalu Allah ciptakan gunung-gunung agar dari sana dapat dialirkan air sebagai kebutuhan manusia dan makhluk lainnya. Subhanaallah AIR, Allah Maha Rahman dengan menciptakan air untuk kebutuhan hidup makhluk-Nya. Cubalah dipikirkan seandaiya Allah menghentikan rizki air itu barang sehari saja, masyaallah. [4]
Dari air lalu Allah menganugerahkan kepada manusia tumbuh-tumbuhan yang terntu saja sangat banyak manfaatnya. Berapa banyak nikmat yang diperoleh dari adanya tumbuhan yang Allah ciptakan, jawabnya tidak bisa dihitung. Karena semua dimensi tumbuhan baik dari segi fisik dan kehadirannya merupakan kenikmatan yang tak ternilai harganya.[5]
Allah menciptakan manusia dengan dua jenis yang berbeda adalah sebuah karunia juga yang sudah sepantasnya kita sangat syukuri adanya. Karena dengan dua jenis laki-laki dan perempuan maka Allah ciptakan kasih sayang dan cinta kasih dalam kehidupan ini. Lalu dari padanya kita dapat beribadah dan sekaligus mengambil bagian kesenangan dan kenikmatan berkasih dan bercinta. Lalu Allah ciptakan anak yang mirip orang tuanya wajah dan wataknya. Subhanallah .[6]
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah nikmat atau anugerah kesehatan yang tentu saja didambakan oleh setiap manusia dalam hidupnya. Artinya tidak ada seorangpun yang menginginkan dirinya jatuh sakit dan tidak menginginkan kesembuhann (sehat). Dengan sehat kita bisa lapar, ngantuk, nafsu dan sebagainya yang itu juga adalah bagian dari nikmat Allah yang jika kita ingin menghitung-hitung nikmat itu niscaya tidak mungkin terhitung.[7]
Intinya adalah bahwa janganlah kita menghitung nikmat Allah untuk mengatakan bahwa masih kurnag nikmat Allah itu, tapi hitunglah agar kita tahu betapa kita miskin dibanding ke-Maha Murahan Allah kepada manusia. Betapa tidak; angin, hujan, siang, malam dan segala sesuatu yang di langit dan di bumi hanyalah untuk kesejahteraan manusia dan makhluk lainnya. Lantas alasan apalagi sehingga kita masih juga tidak segera bersyukur kepad Allah? Astaghfirullahal adzim.
Beruntunglah orang yang ketika mendapat nikmat dari Allah ia bersegera untuk bersyukur atas segala nikmat-nikmat tersebut. Karena ia akan mendapat nikmat sekaligus pahala yang meyertainya. Dan sebaliknya orang yang setelah mendapat nikmat ia tidak bersyukur atau bahkan kufur (ingkar) terhadap nikmat-nikmat tersebut, maka celakalah baginya, karena tiada yang dapat melebihi betapa pedih azab Allah SWT.

B. Pembahasan
1. Nikmat dan Syukur
a. Nikmat
Nikmat adalah segala sesuatu yang mengakibatkan jiwa menjadi berkenan terhadap sesutu tersebut atau segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia untuk dapat memilikinya. Bisa saja nikmat itu berupa kesenangan (sesuatu yang menyenangkan) yang menggembirakan dirinya. Atau bahkan sesuatu yang menyusahkan sekalipun asalkan memang keadaan itu yang diminta oleh seorang hamba kepada Allah. Pernyataan pertama tentang berupa kesenangan merupakan suatu hal yang lazim. Akan tetapi nikmat bentuk kedua yaitu berupa kesusahan sungguhpun seperti tidak lazim bagi orang awam akan tetapi bagi orang yang tingkat keimanan mereka sangat tinggi (ahli sufi misalnya) bukan tidak mungkin mereka memohon sesuatu yang secara fisik menyusahkan tapi demi mendapatkan ridha Allah mereka justru memohon yang menyusahkan mereka. Misalnya meraka memohon untuk dijadikan orang miskin saja (dan mereka senang menjadi orag miskin) nah kalau Allah mengabulkan mereka menjadi miskin maka itu adalah nikmat bagi mereka. Sementara banyak orang ingin menjadi orang kaya pun tidak keliru. Kalau Allah mengabulkn permohonan mereka maka itulah nikmat bagi mereka. Ininya nikmat adalah segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada kita sebagai hambanya baik yang kita minta maupun yang tidak kita minta.
Setidaknya ada tiga macam nikmat menurut IBNU QAYYIM yaitu ; a) nikmat yang telah di dapat oleh seorang hamba dan ia mengetahuinya, b) nikmat yang ditunggu dan diharakan, c) nikmat yang telah diterima oleh seorang hamba, namun ia tidak mengetahui dan tidak menyadarinya.[8]
Masih menurut Ibnu qayyim bahwa bil Allah hendak menyempurnakan nikmat-Nya maka Dia memperkenalkan (memberitahuan) nikmat yang ada kepada hamba-Nya dan memberi kepadanya –karena syukur yang dilakukannya- satu tali pengikat sehingga nikmat tersebut tidak dipakai dalam kemaksiatan, tetapi digunakan dalam ketaatn atau amal yang dapat mendatangkan nikmkat yang ia tunggu-tunggu. Dia juga menganugerahi petunjuk tentang cara memutus jalan menggunakan nikmat dalam kemaksiatan, sehingga ia terhindar darinya. Allah SWT juga akan memperkenalkan pada hamba-Nya nikmat-nikmat yang ada pada hamba yang tidak ia kenal dan tidak ia sadari tersebut.[9]

b. Syukur
Perintah bersyukur dikemukakan, antara lain dalam QS. Ibrahim ayat 7 “ Sesungguhnya jika kamu bersyukur , pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” . Berdasarkan firman Allah ini, maka sebagai hamba yang baik, haruslah menyukuri nikmat yang ada. Karena, sesuai dengan janji Allah, nikmat pasti akan ditambah, tetapi kalau hanya mengeluh, merasa kurang, maka inilah yang dinamakan kufur. Artinya melupakan nikmat yang ada dan bahkan tidak mengenal terima kasih. Sesuai dengan ayat dia atas bahwa orang yang demikian itu akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Diantara azab atau siksa yang sudah bisa dirasakan di dunia adalah hancurnya jiwa lantaran kehausan dan tidak pernah merasa puas. Orang yang berprilaku kufur mereka telah berbuat dosa, sedangkan Rasulullah pernah bersabda “ Sesungguhnya seorang hamba Allah akan dijauhkan Tuhan daripadanya rezki karena dosa yang diperbuatnya” . Maksud sindiran ini adalah bahwa meskipun seseorang tampak kaya –ditambah lagi kalau harta itu tidak halal- tapi jiwanya akan senantiasa kering atau miskin dikarenakan tidak adanya rasa terima kasih.[10]
Hamka mengemukakan sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Anas Bin Malik tentang perlunya berterimakasih, pernah datang kepada Nabi SAW. Seorang peminta-minta, lalu diberi oleh Nabi sebutir kurma. Rupanya si pengemis tidak menerima dengan senang hati. Kemudian datang lagi seorang pengemis lainnya dan diberi oleh Nabi sebutir kurma sama dengan pengemis pertama. Pengemis yang terakhir ini menerima dengan seraya berkata “ Sebutir kurma dari Nabi SAW sendiri, “Subhana Allah” (tanda syukur). Melihat demikian cara penerimaan pengemis ini, Rasulullah bersabda kepada pembantunya “ kau pergi kepada Ummu Salamah supaya dia berikan kepada orang ini 40 dirham”.
Sebaliknya orang yang bersifat kufur adalah orang yang idak pernah merasa puas, yang selalu menghitung segala sesuatu dari kekurangannya saja. Maka dia akan suram jiwanya serta menjadi orang merugi karena akan mendapat azab Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Sementara al Hikam mengatakan bahwa :
من لم يشكر النعم فقد تعرص لزوالها ومن شكرها فقد قبدها بعقالها
Mensyukuri nikmat adalah cara termudah untuk mempertahankan nikmat itu. Jika orang tidak mau bersyukur berarti telah lega rela melepaskan nikmat itu darinya. Bahkan dengan menyukuri nikmat itu merupakan bukti ta’at kita kepada perintah Allah. Menyukuri nikmat bisa dengan hati, dengan cara meyakini bahwa seluruh nikmat yang dia rasakan tiada lain kecuali dari Allah SWT adanya. Allah berfirman :
وما بكم من نعمة فمن الله ( dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah lah adanya). Syukur juga bisa dilakukan dengan lisan. Yaitu dengan menceritakan nikmat Allah yang telah diterima. Sebagaimana firman Allah ث واما بنعمة ربك فحد (Sedangkan dengan nikmat yang kamu terima , maka ceritakanlah). Serta bisa pula dengan anggota badan yang lain. Yaitu dengan cara membelanjakan pemberian Allah untuk melaksanakan perintah (zakat, sadaqah misalnya) dan menolak untuk mengerjakan untuk hal-hal yang tidak diridhoi Allah. [11]
Sementara Ibnu Qayyim mengungkapkan dalam pesan-pesan spiritualnya bahwa bangunan ad Din berdiri atas dua pondasi; yaitu zikir dan syukur. Sehubungan dengan hal ini ada firman allah :
فاذكروني اذكلركم وشكرولي ولا تكفرون
“ Karena itu , berzikirlah/ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dang janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku” (Al baqarah 1520.
Yang dimaksud dengan zikir adalah menyebut-Nya dengan mulut kita, mengingat dalam hati meliputi asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya, juga terhadap perintah dan larangan-Nya. Hal ini megnharuskan seorang hamba untuk mengenal dan mengimani Allah, memuji-Nya atas aneka ragam nikmat dan karunia-Nya terhadap manusia. Sedangkan memuji Allah atas segala nikmat ini adalah merupakan bentuk tanda syukur terhadap Allah SWT dalam kerangka mentaati-Nya dan taqarrub serta beribadah kepada-Nya. Dengan berbagai amal yang disukai oleh Allah baik lahir maupun bathin.[12]
Quraisy Shihab dalam Lentera Hati mengungkapkan bahwa al Qur’an telah melukiskan betaba akibat kekufuran terhadap nikmat di dalam suatu peristiwa yang menimpa suatu negeri yang tadinya aman sejahtera dan rezkinya melimpah ruah di segenap penjuru tetapi mereka kufur. Lalu Allah menjadikan mereka merasakan kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh ulah mereka sendiri (lihat QS 16:112)[13]
Cara menyuskuri nikmat allah SWT menurut kitab al Hikam ada tiga macam yaitu :
1. Syukur qalbi
Yakni syukur hati. Maknanya ialah hati kita mngetahui, mengakui bahkan meyakini, bahwa sekalian nikmat apa pun saja sifatnya, bagaimanapun bentuknya dan erapapun hitungannya dan ukurannya, adlah karunia dari Allah SWT. Dari Dia-lah datangnya nikmat-nikmat itu dan Dia-lah yang menciptakan sekaliannya. Itulah pengertian dari firman Allah yang artinya “ Dan nikmat yang ada pada kamu itu datannya dari Allah , kemudian apabila kamu ditimpa bahaya, maka kepada-Nyalah kamu minta pertolongan.’ (An-Nahl: 53)
2. Syukur Lisani
Syukur lisani adalah mensyukuri nimat Allah ddengan cara megucapkan puji-pujian kepada Allah menyebut asma-asma-Nya, termasuk juga menyukuri nikmat lisani adalah menyebut-nyebut nikmat yang datang dari Allah tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah “ Dan karunia Tuhan engkau, hendaklah siarkan “(Adh-Duha : 11). Dalam hal ini umar bin Khattab berkata “ sebut-sebutlah olehmu nikmat-nikmat Allah, karena bahwasannya menyebut-menyebut nikmat allah itu berart bersyukur kepada-Nya). Selain dari bahwa bersyukur dengan lissan adalah berterima kasih atau syukur pada jalan-jalan di mana dengannya kita memperoleh atau sampai nikmat kepada kita.
Dalam Surat An Nashr Nabi Muhamma diperintahkan ntuk bertasbih dan memuji Tuhannya. Memuji ztuhan adalah bentuk Kesyukuran yang paling penting, yang kalimat lengkapnya membentuk hamdalah, yaitu ucapan Alhamdulillah (alhamdulillahi : segala puji bagi Alah) yang kemudian kalimat itu disebut dengan tahmid [14]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bersyukur dengan lisan adalah sebagaimana yang dperintahkan oleh Allah dalam QS An Nashr kepada Nabi Muhammad yaitu dengan mengucapkan lafadz hamdalah yang artinya segala puji-pujian hanyalah milik Allah SWT. Pada waktu itu Rasulullah mendapat kesenangan karena orang berbondong-bondong masuk Islam mengikuti dakwahnya. Intinya banyak mengucapkan alhamdulillah dengan ikhlas adalah cara bersyukur dengan lisan. Dan ini tentu cara bersykur yang paling sederhana dan ringan. Oleh karena itu kalao cara dengan lisan ini saja tidak dapat ditunaikan pada saat mendapat nikmat sudah dipastikan yang lebih berat dari itu akan sulit melakukannya (maksudnya cara bersyukur yang berikut ini )
3. Syukur Al Jawarih
Yakni syukur anggota bdan atau dapat dikatakan dengan syukut secara fisik kepada Allah. Realisasinya adalah dengan mengarahkan mata, telinga, kaki, tangan dan anggota badan lainnya terhadap segala sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT. Mata untuk melihat yang baik menurut Allah. Telinga untuk mendengar yang baik menurut Allah. Demikian juga tangan kaki dan lain sebagainya. Kita ketahui bahwa rasulullah SAW melakukan ibadah sholat sampai-sampai bengkak kedua belah kakinya. Alasanya adalah karena rasulullah ingin bersyukur kepada Allah SWT, sekalipun beliau tidak memiliki dosa karena telah dijamin oleh Allah. Sebuah syair berbunyi “ Syukurku tidak cukup dengan membalas pemberianmu, dan tetap aku berusaha sungguh menjalaninya, berfaedahlah kepadamu pemberian yang putih bersih daripada –ku yaitu tiga; dua tanganku, lidahku, dan hatiku yang terselubung [15]
Al Ghazali memberikan pengertian syukur yang berasal dari kata as Syakur adalah bahwa Allah yang maha membalas syukur terhadap hamba-hamba-Nya, memberi balasan pahala yang berlipat ganda bagi pelaku kebajikan keta’atan yang sedikit dan memberikan kebahagiaan yang tak terbatas di akhirat. sebagaiman firman-Nya yang artinya “ di dalam syurga yang tinggi, buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan) “makanlah dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu. Dia yang memberikan pahala berlipat ganda bagi satu perbuatan baik yaitu perbuatan bersyukur atas perbuatan itu. Siapapun yang menghargai seseorang yang berbuat satu kebajikan juga dinamakan syukur.
Allah SWT memuji perbuatan hamba-hamba-Nya. Jika manusia yang diberi sesuatu kemudian beterima kasih kemudian dia memuji Allah SWT maka berarti ia telah bersyukur. Demikian pula si pemberi yang memuji si penerima, dia lebih pantas disebut bersyukur. Juga apabila seseorang seseorang bersyukur kepada orang lain dengan cara memujinya atas perbuatan baiknya tersebut, lalu pada saat yang lain ia memberikan imbalan kepadanya melebihi pemberian yang diterimanya, ia pun telah melakukan perbuatan terpuji yaitu bersyukur.[16]
Quraisy Shihab dalam bukunya juga mengatakan bahwa ; syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuknya hatinya yang terdalam, betapa besar nikmat dan anugerah-Nya disertai ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya dan dorongan untuk bersyukur dengan lidah dan perbuatan.
Memang manusia tidak dapat melakukan syukur dengan sempurna. Bagaimana tidak demikian, pujian manusia kepada Allah – betatapun ia usahakan- tidak akan pernah mampu menyamai betapa besar limpahan karunia-Nya ; subhanaka lanuhshi tsanan ‘alaika anta kama atsnaita ‘ ala nafsika” ( maha suci engkau ya allah , kami idak mampu memujimu, ujian terhadapmu adalah sebagaimana pujianmu terhadap dirimu) itulah ucapan yang diajarkan oleh Rasulullah kepada kita semua.[17]
Manusia diperintahkan meneladani Tuhan sepanjang kemampuanna dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada. Bukankah Allah Maha Kaya, Mha Kuasa dan Maha Bersyukur. Seseorang yang puas dengan perolehan (rezki) nya, sedangkan masih ada tersisa baginya kemampuan utnuk menambah kemanfaatan diri atau makhluk lain pada hakikatnya tidak menghayati ajaran agama. Dalam hal ini sesuailah konsep qana’ah dalam literatur agam islam meskipun pemahamanya mesti dirubah bukan hanya sekedar puas dengan apa yang dimiliki begitu saja, akan tetapi qana’ah lebih dipahami sebagai hasil akhir setelah melalui lima proses yaitu ; keinginan meraih sesuatu, usaha yang maksimal, keberhasilan dalam usaha, menyerahkan (membagi/sadaqah) dengan suka cita apa yang telah diperolehnya kepada yang membutuhkan,dan telah merasa puas dengan apa yang telah ia miliki sebelumnya.[18]
Setiap orang sangat memerlukan Allah dalam setiap gerak kehidupannya. Dari udara untuk bernafas hingga makanan yang ia makan, dari kemampuannya untuk menggunakan tangannya hingga kemampuan berbicara, dari perasaan aman hingga perasaan bahagia, seseorang benar-benar sangat memerlukan apa yang telah diciptakan oleh Allah dan apa yang dikaruniakan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan orang tidak menyadari kelemahan mereka dan tidak menyadari bahwa mereka sangat memerlukan Allah. Mereka menganggap bahwa segala sesuatunya terjadi dengan sendirinya atau mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena hasil jerih payah mereka sendiri. Anggapan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal dan benar-benar tidak mensyukuri nikmat Allah. Anehnya, orang-orang yang telah menyatakan rasa terima kasihnya kepada seseorang karena telah memberi sesuatu yang remeh kepadanya, mereka menghabiskan hidupnya dengan mengabaikan nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya di sepanjang hidupnya. Bagaimanapun, nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang sangatlah besar sehingga tak seorang pun yang dapat menghitungnya. Allah menceritakan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. an-Nahl: 18).
Meskipun kenyataannya demikian, kebanyakan manusia tidak mampu mensyukuri kenikmatan yang telah mereka terima. Adapun penyebabnya diceritakan dalam al-Qur’an: Setan, yang berjanji akan menyesatkan manusia dari jalan Allah, berkata bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjadikan manusia tidak bersyukur kepada Allah. Pernyataan setan yang mendurhakai Allah ini menegaskan pentingnya bersyukur kepada Allah:
“Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. Allah berfirman, ‘Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya’.” (Q.s. al-A’raf: 17-8).

Dalam pada itu, orang-orang yang beriman karena menyadari kelemahan mereka, di hadapan Allah mereka memanjatkan syukur dengan rendah diri atas setiap nikmat yang diterima. Bukan hanya kekayaan dan harta benda yang disyukuri oleh orang-orang yang beriman. Karena orang-orang yang beriman mengetahui bahwa Allah adalah Pemilik segala sesuatu, mereka juga bersyukur atas kesehatan, keindahan, ilmu, hikmah, kepahaman, wawasan, dan kekuatan yang dikaruniakan kepada mereka, dan mereka mencintai keimanan dan membenci kekufuran. Mereka bersyukur karena telah dibimbing dalam kebenaran dan dimasukkan dalam golongan orang-orang beriman. Pemandangan yang indah, urusan yang mudah, keinginan yang tercapai, berita-berita yang menggembirakan, perbuatan yang terpuji, dan nikmat-nikmat lainnya, semua ini menjadikan orang-orang beriman berpaling kepada Allah, bersyukur kepada-Nya yang telah menunjukkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Sebagai balasan atas kesyukurannya, sebuah pahala menunggu orang-orang yang beriman. Ini merupakan rahasia lain yang dinyatakan dalam al-Qur’an; Allah menambah nikmat-Nya kepada orang-orang yang bersyukur. Misalnya, bahkan Allah memberikan kesehatan dan kekuatan yang lebih banyak lagi kepada orang-orang yang bersyukur kepada Allah atas kesehatan dan kekuatan yang mereka miliki. Bahkan Allah mengaruniakan ilmu dan kekayaan yang lebih banyak kepada orang-orang yang mensyukuri ilmu dan kekayaan tersebut. Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang ikhlas yang merasa puas dengan apa yang diberikan Allah dan mereka ridha dengan karunia tersebut, dan mereka menjadikan Allah sebagai pelindung mereka. Allah menceritakan rahasia ini dalam al-Qur’an sebagai berikut:
“Dan ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Q.s. Ibrahim: 7)
Mensyukuri nikmat juga menunjukkan tanda kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah. Orang-orang yang bersyukur memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat keindahan dan kenikmatan yang dikaruniakan Allah. Rasulullah saw. juga menyebutkan masalah ini, beliau saw. bersabda:
“Jika Allah memberikan harta kepadamu, maka akan tampak kegembiraan pada dirimu dengan nikmat dan karunia Allah itu.
Dalam pada itu, seorang kafir atau orang yang tidak mensyukuri nikmat hanya akan melihat cacat dan kekurangan, bahkan pada lingkungan yang sangat indah, sehingga ia akan merasa tidak berbahagia dan tidak puas, maka Allah menjadikan orang-orang seperti ini hanya menjumpai berbagai peristiwa dan pemandangan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi Allah menampakkan lebih banyak nikmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang ikhlas dan memiliki hati nurani.
Bahwa Allah menambah kenikmatan kepada orang-orang yang bersyukur, ini juga merupakan salah satu rahasia dari al-Qur’an. Bagaimanapun harus kita camkan dalam hati bahwa keikhlasan merupakan prasyarat agar dapat mensyukuri nikmat. Jika seseorang menunjukkan rasa syukurnya tanpa berpaling dengan ikhlas kepada Allah dan tanpa menghayati rahmat dan kasih sayang Allah yang tiada batas, tetapi rasa syukurnya itu hanya untuk menarik perhatian orang, tentu saja ini merupakan ketidakikhlasan yang parah. Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati dan mengetahui ketidakikhlasannya tersebut. Orang-orang yang memiliki niat yang tidak ikhlas bisa saja menyembunyikan apa yang tersimpan dalam hati dari orang lain. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya dari Allah. Orang-orang seperti itu bisa saja mensyukuri nikmat ketika tidak menghadapi penderitaan. Tetapi pada saat-saat berada dalam kesulitan, mungkin mereka akan mengingkari nikmat.
Perlu diperhatikan, bahwa orang-orang mukmin sejati tetap bersyukur kepada Allah sekalipun mereka berada dalam keadaan yang sangat sulit. Seseorang yang melihat dari luar mungkin melihat berkurangnya nikmat pada diri orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang beriman yang mampu melihat sisi-sisi kebaikan dalam setiap peristiwa dan keadaan juga mampu melihat kebaikan dalam penderitaan tersebut. Misalnya, Allah menyatakan bahwa Dia akan menguji manusia dengan rasa takut, lapar, kehilangan harta dan jiwa. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang beriman tetap bergembira dan merasa bersyukur, mereka berharap bahwa Allah akan memberi pahala kepada mereka berupa surga sebagai pahala atas sikap mereka yang tetap istiqamah dalam menghadapi ujian tersebut. Mereka mengetahui bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kekuatannya. Sikap istiqamah dan tawakal yang mereka jalani dalam menghadapi penderitaan tersebut akan membuahkan sifat sabar dan syukur dalam diri mereka. Dengan demikian, ciri-ciri orang yang beriman adalah tetap menunjukkan ketaatan dan bertawakal kepada-Nya, dan Allah berjanji akan menambah nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang mensyukuri nikmat-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Pada intinya sebagaimana diungkapkan olimam Al Ghazali bahwa seorang hamba bias menjadi orang yang mensyukuri hak seorang hamba yang lain dengan menyanjung kebaikannya atau dengan membalasnya dengan yang lebih banyak dari apa yang diperbuatnya. Itu termasuk sifat terpuji. Coba kita simak sabda Rasulullah : "Siapa yang tidak bersyukur kepada orang maka di tidak bersyukur kepada Allah"[19]
Sedangkan syukurnya manusia kepada Allah sesungguhnya hanyalah kiasan belaka. Sebab jika manusia memuji Allah, maka pujiannya itu sangat tidak memadai. Dan yang terakhir ini sangat penting bahwa sesungghnya keta'atan hamba kepada Allah itu pun nikmat yang tak ternilai harganya. Bahkan syukur itu sendiri adalah nikmat yang lain di balik nikmat yang disyukurinya. Oleh jarena itu bentuk yang terbaik dalammensyukuri nkmat Alah adalah tidak menggunakan nikmat itu untuk bermaksiat kepada Allah melainkan untuk meta'ati –Nya. Dan hanya karena Allah sehingga manusia menjadi hamba yang bersyukur. Subhanallah wal hamduliillah.[20]





B. Penutup
1. Kesimpulan
Dariuaraian di atas dapat diambil suatu kesimpuan bahwa '
a. Allah maha pengasih lagi maha penyayang. Mengasih siapa saja makhluk hidup ini baik yang beriman maupun yang ingkar kepada-Nya. Akan tetapi Allah menyayangi makhluk-Nya yang taat dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya saja
b. Allah memberikan nikmat dan anugrah kepada makhluk-Nya tidak dengan tujuan mendapatkan imbalan dari makhluknya. Hanya Allah memerintahkan kepada makhluknya untuk bersyukur kepada-Nya.
c. Orang yang senantiasa bersyukur maka akan terus ditambah nikmat itu oleh Allah, sementara orang yang kufur atau tidak mensyukuri nikmat Allah maka ia akan mendapatkan azab yang pedih dari-Nya.

2. Saran
Demikianlah makalah yang sederhana ini, tentu saja masih banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa-masa yang akan dating. Akhirnya mohon maaf atas segala kekhilafan. Syukuron jaziila.The faulth is mine but the truisme is God.



























DAFTAR PUSTAKA



Al Ghazali, Imam, Keajaiban-keajaiban makhluk Allah, Pustaka Media, Surabaya, 2002

Syukur, Amin, Zikir Menyembuhkan Kankerku, Hikmah Populer, Jakarta, 2007

Zaky al Kaaf Abdullah, Asmaul Husna Perspektif Al Ghazali, Pustaka Setia, Bandung 2002.

Bisri,M. Cholil, Indahnya Tasawuf Al Hikam Ibnu Aththaillah Askandarany, Pustaka Alief, Yogyakarta, 2003

Hawwa, Sa'id, Intisari Ihya' Ulumuddin Al Ghazali : Mensucikan jiwa Konsep Tazkiyatun-nafs, Alih Bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid , Lc. Robbani Press, Jakata, 1998

M. Qurais Shihab, Kisah dan hikmah Kehidupan Lentara hati, Mizan, Jakarta, 2007

Muhibbudin Waly, hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 2004.

M. Quraish Sihab, Menyingkap tabir ilahi : asmaul husna dalam perspektif al-qur’an, Lentera hati, Jakarta.2006.

Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban : Membangn Makna dan Relevansi dalam Sejarah, paramadina, Jakarta, 1995

Nabhani Idris (penyadur), Pesan-pesan Spiritual Ibnu Al Qayyim, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.

Sulaiman Al Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Pustaka Nuun, Semarang, 2004.

.

[1]Mahasiswa Program Pascasarjana Program Beasiswa Departemen Agama RI 2007 Asal Palembang
[2]Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku, Hikmah Popular, Jakarta, 2007 hlm. 213
[3]Imam Al Ghazali, Keajaiban-Keajaiban makhluk Allah, Pustaka Media, Surabaya, 2002, hlm. 102-113
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[7]Ibid
[8] Nabhani Idris (Penyadur), Pesan-pesan Spiritual Ibnu Al Qayyim, Gema Insani Press, Jakarta, 1998. hlm. 150
[9] Ibid
[10]Sulaiman Al kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Pustaka Nuun, Semarang, 2004, hlm., 134.
[11]KH.M. Cholil Bisri, Indahnya tasawuf Al Hikam Ibnu Aththaillah Askandarany, Pustaka Alief, Yogyakarta, 2003. hlm. 52
[12] Nabhani Idris (penyadur), Pesan-pesan Spiritual Ibnu Al Qayyim, Gema Insani Press, Jakarta, 1998. hlm. 122-123
[13] M. Qurais Shihab, Kisah dan hikmah Kehidupan Lentara hati, Mizan, Jakarta, 2007
[14] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban : Membangun makna dan Relevansi Doktrin Ilam dala Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 196
[15] Muhibbudin Waly, hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 2004. hlm 351-355
[16] Abdullah Zaky al Kaaf, Asmaul Husna Perspektif Al Ghazali, Pustaka Setia, Bandung 2002. hlm., 195
[17]M. Quraish Sihab, Menyingkap tabir ilahi : asmaul husna dalam perspektif al-qur’an, Lentera hati, Jakarta.2006, hlm. 182-183
[18] M. Qurais Sihab, Kisah dan Hikmah KehidupanLentera hati, Mizan, bandung, 2007 hlm. 138-139


[19] Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Turmudzi dari Abu Sa'id ra.
[20]Hawwa, Sa'id, Intisari Ihya' Ulumuddin Al Ghazali : Mensucikan jiwa Konsep Tazkiyatun-nafs, Alih Bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid , Lc. Robbani Press, Jakata 1998.hlm. 431

MENANAMKAN SIKAP TAUHID SEJAK DINI PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu Tawhid yang berarti meng-Esa-kan. Tauhid adalah meyakini adanya Allah SWT dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat syahadat ‘la ilaaha illallah “ (Tidak ada Tuhan selain Allah). Kata tauhid adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau wahhada yang merupakan derivasi (asal-usul kata) dari akar kata wahdah yang berarti ke-Esa-an, kesatuan, dan persatuan.[1]
Pokok-pokok tauhid setidaknya ada tiga hal yaitu ; ma’rifat al mabda’, ma’rifat al watsitah, dan ma’rifat al ma’ad.[2]
Ma’rifat al mabda’ adalah mempercayai dengan sepenuh hati tetntang pencipta alam, Allah Yang Maha Esa. Hal ini sering diartikan dengan wujud yang sempurna (wujud mutlak) atau wajib al maujud. Alam adalah makhluk Allah yaitu segala sesuatu selain Allah.[3]
Ma’rifat al watsitah adalah mempercayai dengan sepenuh hati dan keyakinan tentang para utusan Allah SWT yang menjadi ututsan dan perantara Allah SWT dengan umat manusia, tentang kitab-kitab-nya, dan tentan malaikat-nya.
Ma’rifat al ma’ad adalah mempercayai dengan penuh keyakinan akan adanya kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal ikhwalnya.
Yang paling pokok dalam tauhid adalah mengenal Allah SWT dengan segala sifat yang menyertai-Nya atau disebut ma’rifatullah. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“ barang siapa diantara kalian yang paling mengenal Allah , maka dia yang paling takut kepada-Nya, dan aku bahkan lebih takut kepada-Nya”.
Artinya pada saat orang mengetahui bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Berkehendak dan sebagainya, maka apalah artinya sepotong jiwa manusia di hadapan Allah SWT. Apa yang dapat dibanggakan di hadapan Allah dari diri manusia ini. Mengenal Allah dengan sebenarnya merupakan pilar penyangga segenap bangunan Islam. Karena mengenal Allah adalah essensi dari Islam itu sendiri.[4] Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika tauhid itu dikenalkan sejak diri kepada anak-anak kita demi membangun pondasi keimanannya yang kuat pada diri mereka.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka pembahasan makalah ini diarahkan kepada menjawab permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Islam terhadap anak ?
2. Apa Pengertian Tauhid dan Akidah ?
2. Bagaimana Menanamkan Tauhid kepada anak sejak dini ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anak dalam Pandangan Islam
1. Anak sebagai Ujian
Anak sebagai ujian bagi para orang tua ini mengandung maksud bahwa apakah kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga akan membuat orang tua menjadi lebih bertaqwa kepada Allah, atau sebaliknya justru kehadiran anak membuat kecintaan orang tua kepada anak menjadikan orang tua lupa kepada Allah atau setidaknya berkurang. Padahal Allah telah berfirman dengan jelas bahwa diciptakan jin dan manusia itu adalah untuk mengabdi kepada Allah. Sehingga jika kehadiran anak bagi orang tua justru membuatnya lupa kepada Allah maka itulah orang tua yang tidak lulus dalam ujian ini. Allah befirman :
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٢٨﴾
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al Anfaal : 28)[5]


Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar ( QS.At -Taghaabun : 15)[6]
Dapat dipahami bahwa orang tua akan mendapatkan pahala yang besar apabila kehadiran anak dalam hidup seseorang membuatnya lebih taat kepada-Nya. Dan sebaliknya kecintaan kepada anak sampai-sampai membuat orang tua lupa kepada Allah maka tiadalah azab yang pedih melebihi azab Allah SWT.

2. Anak sebagai Amanah dan Anugerah
Anak merupakan amanah sekaligus anugrah bagi kedua orang tuanya. Islam telah menuntunkan kepada setiap orang tua untuk bertanggung jawab atas amanah tersebut. Orang tua yang shaleh dan shalehah merupakan madrasah terbaik yang dapat mempersiapkan generasi yang shalih, tokoh-tokoh masa depan yang tangguh, lurus aqidahnya, serta mulia akhlaknya. Berusaha memberikan pendidikan terbaik sejak dini bagi anak-anaknya adalah suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantas, dari mana kita harus memulainya, dan bagaimana caranya ?
Sebagai orang tua hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT terhadap pendidikan putra-putrinya terutama dalam hal keimanan.
Tentang perkara ini, Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)[7]

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وكلكم َمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِه
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban”
Dalam sabdanya yang lain Rasulullah mengatakan :
"Orang yang mendidik anaknya itu lebih baik dari pada ia bersedekah dengan satu gantang". Sabdanya pula: "Tidak ada pemberian seorang ayah terhadap anaknya yang lebih utama dari pada pendidikan moral yang lebih baik". (HR. Tirmidzi).
Orang tua adalah yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan keagamaan anak-anak mereka. Termasuklah bertanggung jawab terhadap masalah ketauhidannya. Apabila anak menjadi orang yang tidak taat dan patuh terhadap syari'at Allah maka orang tua akan menanggung dosa dari perbuatan anaknya akibat tidak mejaga amanah Allah SWT. Hal ini terjadi apabila orang tua memang tidak pernah mengajarkan (menanamkan) bagaimana cara-cata taat dan patuh terhadap syari'at Allah SWT.
Lain halnya jika orang tua sudah berusaha mengajarkan tentang keimanan dan semua yang berhubungan dengan cara berbakti kepada Allah namun anak tidak juga mau melaksanakan syari'at Allah maka orang tua dalam hal ini tidak bersalah dan kita ingat bahwa hidayah adalah hak Allah untuk memberikan atau tidak kepada hamba-hamba-Nya termasuk terhadap anak-anak orang Islam. Kita ingat bagaimana kisah Nabi Nuh, betapapun ia seorang nabi tapi anaknya Kan'an tidak juga beriman kepada Allah. Juga bagaimana Rasulullah Muhammad SAW yang bersedih pada saat beliau tidak berhasil membuat pamannya Abu Tholib yang sampai meniggalnya belum bertauhid kepada Allah. Jika orang tua sudah secara maksimal berusaha menanamkan tauhid kepada putra-putrinya maka inilah yang dimaksud menjaga mereka (putra-putrinya) dari siksa api neraka.
Mengingat bahwa hidayah hanyalah hak Allah, maka tugas orang tua hubungannya dengan pendidikan atau penanaman tauhid atau keimanan adalah tetap berusaha semaksimal mungkin dengan metode-metode yang dianggap dapat mempermudah proses pendidikan itu. Dalam hal ini juga termasuk meminta bantuan (menyekolahkan anak-anaknya) pada guru, tokoh agama, ulama atau orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang keagamaan, apabila orang tua tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam hal keagamaan.
Sebagaimana kewajiban dalam bidang jasmani memberi makan, minum, dan pakaian kepada anaknya, setiap orang tua wajib memperhatikan dan menyuburkan hati mereka dengan ilmu dan iman serta memakaikan pakaian taqwa pada ruhaninya. Sambil jangan lupa bermohon kepada Allah agar Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita dan anak kita.


وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً ﴿٧٤﴾
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al Furqan : 74)

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء ﴿٤٠﴾
"Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do`aku. (QS. Ibrahim : 40)[8]

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء ﴿٣٨﴾

"Di sanalah Zakaria mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a". (QS. Ali Imran : 38)[9]
Anak adalah amanat bagi orang tuanya. Mereka bertanggung jawab atas pendidikan, agama, dan akhlak anak-anaknya. Anak-anak yang baik akan menjadi permata hati bagi mereka di dunia dan akhirat. Firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucunya yang ikut beriman, kami gabungkan anak cucu itu dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya" (QS. Ath Thuur [52]:21).
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿٢٠﴾
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS.Al Hadid : 20)

B. Antara Akidah dan Tauhid
1. Akidah
a. Pengertian akidah
Akidah berakar dari kata 'aqada ya'qidu yang berarti mengikatkan atau menyimpulkan dan mengadakan perjanjian. Atau juga dapat diartikan dengan mempercayai, meyakini (keyakinan). Istilah aqidah semakna dengan I'tikad atau dalam bahasa inggris disebut dengan dogma.[10]
Aqidah Islamiyah selalu berhubungan dengan persoalan utama tentang keimanan sebagaimana tercantum dalam rukun Iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir serta qada qadar.[11] Islam dibangun dengan tiga perkara yaitu ; akidah, syari;at dan akhlak. Aspek akidah merupakan aspek yang sangat fundamental (mendasar) dalam Islam dan berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan (keimanan) dan kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib.[12]
Jika demikian, maka akidah adalah keimanan atau keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap yang mengaku dirinya muslim. Iman dan yakin terhadap yang ghaib yaitu; iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Kitab-kitab, hari qiyamat serta qada dan qadar. Atau yang lazim disebut dengan rukun iman.
b. Manfaat menanamkan aqidah pada anak
Setidaknya ada 7 manfaat yang dapat dipetik dari upaya menanamkan akidah pada anak sejak dini yaitu ; [13]
1) Memperkokoh keyakinan akan ke-Esaan Allah pada anak
2) Meyakini ke-Esa-an Allah dalam dzat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya.
3) Agar anak merasakan ketenangan dan keseimbangan diri.
4) Anak akan bangga karena telah menganut agama yang agung ini, merasa berarti dan mulia dalam hidup ini sebagai manusia.
5) Membentuk kepribadian dan prilaku-prilaku Islami.
6) Menciptakan pemahaman yang benar dan rasional.
7) Menghindari dari hal –hal yang brsifat bid'ah dan khurafat yang dapat menghancurkan akidah dalam diri anak.

2. Tauhid
Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu Tawhid yang berarti meng-Esa-kan. Tauhid adalah meyakini bahwa Allah SWT itu esa adanya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat Syahadat ‘La ilaaha illallah “ (Tidak ada Tuhan selain Allah). Kata tauhid adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau wahhada yang merupakan derivasi (asal-usul kata) dari akar kata wahdah yang berarti ke-Esa-an, kesatuan, dan persatuan.[14]
Pokok-pokok tauhid setidaknya ada tiga hal yaitu ; ma’rifat al mabda’, ma’rifat al watsitah, dan ma’rifat al ma’ad. Ma’rifat al mabda’ adalah mempercayai dengan sepenuh hati tetntang pencipta alam, Allah Yang Maha Esa. Hal ini sering diartikan dengan wujud yang sempurna (wujud mutlak) atau wajib al maujud. Alam adalah makhluk Allah yaitu segala sesuatu selain Allah.[15] Ma’rifat al watsitah adalah mempercayai dengan sepenuh hati dan keyakinan tentang para utusan Allah SWT yang menjadi utusan dan perantara Allah SWT dengan umat manusia, tentang kitab-kitab-Nya, dan tentang Malaikat-Nya. Ma’rifat al ma’ad adalah mempercayai dengan penuh keyakinan akan adanya kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal ikhwalnya.
Yang paling pokok dalam tauhid adalah mengenal Allah SWT dengan segala sifat (atribut) yang menyertainya atau disebut ma’rifatullah. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“ barang siapa diantara kalian yang paling mengenal Allah , maka dia yang paling takut kepada-Nya, dan aku bahkan lebih takut kepada-Nya”.
Artinya pada saat orang mengetahui bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Berkehendak dan sebagai, maka apalah artinya sepotong jiwa manusia dihadapan Allah, apa yang dapat dibanggakan di hadapan Allah dari diri manusia ini. Mengenal Allah dengan sebenarnya merupakan pilar penyangga segen bangunan Islam. Karena mengenal Allah adalah essensi dari Islam itu sendiri.[16] Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika tauhid itu dikenalkan sejak diri kepada anak-anak kita demi membangun pondasi keimanannya yang kuat.
Dapat disimpulkan bahwa antara akidah dan tauhid adalah dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan, mengingat akidah adalah pondasi dasar dalam kehidupan beragama Islam yang berisi konsep-konsep keimanan. Sedangakan tauhid adalah hal pertama yang harus diimani atau dimiliki keyakinannya oleh setiap muslim yaitu keyakinan atau keimanan terhadap Allah SWT berikut dzat dan sifat-sifat yang melekat pada-Nya. Keyakinan akan Ke-Esaan Allah adalah orientasi dari penanaman nilai-nilai tauhid kepada anak sejak dini.

C. Pentingnya menanamkan tauhid sejak dini
Tugas manusia adalah sebagai 'abdullah' merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti ; memelihara kewajiban-kewajiban dari Allah yang harus dilaksanakan dan menjauhi larangan-larangan, memelihara kalimat tauhid atau Laa ilaaha illallah atau ma'rifah kepada Allah.[17]
Oleh karena itu pendidikan tauhid sejak dini pada anak merupakan dasar pendidikan agama Islam yang diharapkan dapat membentuk nilai-nilai pada diri anak setidaknya unsur-unsur agama Islam yaitu ;[18]
1. Keyakinan atau kepecayaan terhadap Ke-Esa-an Allah (adanya Tuhan) atau kekuatan ghaib tempat berlindung dan memohon pertolongan.
2. Melakukan hubungan sebaik-baiknya dengan Allah guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.
3. Mencintai dan melaksanaan perintah Allah serta larangan-Nya, dengan beribadah yang setulus-tulusnya dan meninggalkan segala yang tidak diizinkan-Nya.
4. Meyakini hal-hal yang dianggap suci dan sakral seperti kitab suci, tempat ibadah dan sebagainya

Ada dua hal pokok tauhid yang harus kita ajarkan sejak dini kepada anak-anak muslim yaitu ;
Pertama, tauhid rububiyah. Tauhid dalam konteks ini lebih mengarah pada mengenalkan pemahaman bahwa Allah adalah yang menciptakan semua makhluk dan Allah juga sebagai tempat bergantung memohon pertolongan.
Kedua, tauhid uluhiyah. Tauhid dalam konteks ini adalah meyakini bahwa Allah satu-satunya yang wajib disembah. Kedua pokok tauhid ini harus diajarkan bersamaan agar anak sejak dini telah memiliki kepahaman dan dapat mengerti tanggung jawab dan kewajiban dari tauhid tersebut.
Oleh karena itu jelas sangat urgen menanamkan tauhid pada anak sejam dini. Dan paling tidak ada dua cara yang efektif untuk mengenalkan konsep tauhid kepada anak.
Pertama, kenalkan ciptaan-Nya. Dengan cara ini anak diajak berdialog dan berdiskusi untuk mengenal dan mensyukuri segala ciptaan-Nya. Selain itu, cara ini pun efektif untuk melatih anak memikirkan dan mengambil pelajaran dari segala yang diciptakan-Nya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya :
''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.'' (QS 3: 190).[19]
Dalam ayat lainnya Allah berfirman:
''Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.'' (QS 16: 12-13).[20]

Kedua, dengan pendidikan dan contoh atau tauladan. Pendidikan dalam konteks ini adalah anak diajarkan tentang kewajiban-kewajiban manusia sebagai makhluk untuk melakukan ragam ibadah kepada Allah. Sedangkan contoh adalah orang tua memberikan teladan bagaimana caranya beribadah dan menjelaskan bahwa beribadah itu menyembah atau berbakti kepada Allah. Misalnya, anak sejak dini telah dilatih shalat dan dikenalkan dengan Al-Qur'an serta masih banyak lagi yang lainnya.
Menanamkan Tauhid merupakan manhaj para Nabi. Dengan landasan tauhid inilah Rasulullah SAW berhasil mentarbiyah para sahabatnya, mengentaskan mereka dari kebodohan dan kemusyrikan menjadi generasi terbaik yang menorehkan tinta emas bagi sejarah kejayaan kaum muslimin.
Apabila orang tua berhasil menanamkan tauhid pada setiap dada anak-anaknya, berarti mereka telah mempersiapkan sebuah bangunan dengan fondasi yang kokoh dan kuat bagi kehidupan keagamaan bagi anak-anaknya.
Pentingnya menanamkan tauhid sejak dini tercermin dalam cerita Luqman Al Hakim yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Jamal Abdul Rahman menguraikan pesan Luqman Al Hakim dalam Al Qur'an itu sebagai berikut ;[21]
1) Jangan mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar ;
2) Allah akan memberi balasan terhadap semua amal perbuatan manusia walaupun seberat biji zarrah, karma Allah maha halus dan Maha Mengetahui.
3) Mengerjakan sholat, menganjurkan berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar serta bersabar, karena hal itu adalah yang diwajibkan oleh Allah.
4) Jangan sombong dan angkuh di muka bumi ini, karena Allah tidak suka orang yang somong lagi membaggakan diri.
5) Sederhanakan dalam berjalan dan pelan atau lunak dalam berbicara.
Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak yang dicontohkan oleh beliau
Untuk itu orang tua harus tahu apa dan bagaimana metode dalam menanamkan tauhid kepada anak sejak dini sebagimana yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad SAW.:
1. Menjelaskan makna La Ilaha Illallah. Orang tua harus menjelaskan hakikat tiada tuhan selain Allah. Yaitu bahwa Allah adalah Tuhan dan tidak ada Tuhan lain di alam ini selain-Nya. Dialah yang menciptakan, meguasai dan mengatur hidup dan matinya alam ini. Allah SWT berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS. Al Ikhlash : 1-4)[22]

Kalimat La Ilaha Illallah adalah kalimat tauhid yang mencakup keseluruhan dari agama yang telah dibawa oleh para Rasulsesuai dengan wahyu yang diterima mereka dari Allah. Kalimat yang paling agung yang menunjukkan kemandirian Allah dalam ke-Esaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al An'am 19 : " Tuhan yang maha Esa dan sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". Juga dalam QS.Al An'am 106 " Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu. Tidak ada Tuhan selain dia "[23] dan masih banyak lagi ayat serupa.
Allah adalah satu-satunya zat yang berhak disembah. Hak itu tidak dimiliki selain dari Allah. Tidak pada matahari, bulan bintang, pohon, batu api dan sebagainya. Allah sebagai satu-satunya dzat yang Maha Hidup yang selalu mengawasi dengan kekuasaan-Nya tanpa disertai rasa kantuk dan tidur. Atas izin-Nyalah semua yang terjadi di alam ini.
لااله الا الله itulah kalimat tauhid yang artinya adalah "Tiada Tuhan Selain Allah". Kalimat itulah yang akan kita tanamkan essensinya kepada anak-anak sejak dini. Agar kelak anak-anak kita dapat mengemban amanah dan tujuan hidup ini yaitu mengabdi (beribadah) kepada Allah. Sebagaimana firman Allah yang artinya;
"Tidaklah Aku Ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku"
Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda,
''Jadikanlah kata-kata pertama yang diucapkan seorang anak adalah kalimat لااله الا الله (tiada Tuhan selain Allah), dan bacakanlah pada mereka ketika menjelang mati kalimat لااله الا الله (tiada Tuhan selain Allah).'' (HR Hakim dari Ibn Abbas).
Hadits di atas merupakan perintah kepada kita untuk mengenalkan dan menanamkan konsep tauhid, لااله الا الله sejak dini kepada anak-anak kita. Hadis di atas pun merupakan isyarat bahwa tauhid dan akidah yang benar merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia hingga menjelang kematiannya.
Tuhan yang diperkenalkan Al-Qur'an (yaitu Allah SWT) tidak dalam sesuatu yang bersifat materi, karena jika demikian pastilah Allah berbentuk, bila Allah berbentuk pastilah terbatas dan membutuhkan tempat. Sedangkan Allah itu tidak berbentuk sesuatu dan tidak pula terbatas. Akan tetapi agar manusia menjadi tentram hatinya dan dapat memahami-Nya serta meyakini wujud-Nya maka Al-Qur'an mengenalkan Allah dengan sifat-sifat-Nya yang dapat dijangkau oleh akal manusia.[24] Karena itulah maka dari Al-Qur'an didapatkan nama-nama Allah yang bermaksud memperkenalkan sifat-sifat-Nya yang terkenal dengan asma al husna.
2. Menjelaskan makna latusyriku bihi syai'an. Yaitu bahwa tidak satupun boleh disekutukan terhadap Allah, karena barang siapa yang menyekutukan Allah maka ia akan mendapatkan dosa besar karena ia adalah dosa syirik. Sebagaimana firman Allah :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)
Oleh karena itu, di dalam Al-Qur'an pula Allah kisahkan nasihat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”.(Luqman: 13)
3. Mengenalkan sifat-sifat Allah dan nama-nama Allah (asmaul husna) agar timbul kecintaan dan kebanggaan anak terhadap Allah atas segala sifat keagungan dan kemuliaan Allah yag mulai mereka kenal.
Rasulullah SAW sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas ra. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita;
“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.

Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah SAW kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid. Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah tentang dimana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita, dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit. Dalilnya antara lain,
“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5) Makna istiwa' adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in.
Adapun dari hadits, Rasulullah SAW bertanya kepada seorang budak wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”. Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud)
4. Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Mulai dari tatacara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya. Aqidah dianggap sebagai landasan utama syariat Islam karena aqidahlah yang akan membentuk sikap mental setiap individu muslim.
Membiasakan anak mengerjakan berbagai macam ibadah, seperti shalat, puasa, shalat berjamaah di masjid, menghapalkan Qur'an dan hadits, serta berhijab (bagi anak putri) Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
"Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena shalat ini sedang mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka." (HR. Abu Dawud dan Hakim)

5. Mengajarkan akhlak yang mulia. Yaitu dengan mengajarkan sunnah Rasulullah SAW mengenai bagaimana Rasul makan, minum, ke belakang, bergaul dengan sesama, tidur, berbicara dan sifat-sifat Rasul yaitu Siddiq Amanah, Tabligh dan Fathonah serta masih banyak lagi akhlak Rasulullah lainnya.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan tentang menanamkan tauhid kepada Anak sejak dini bahwa :
1. Anak adalah rizki, amanah, anugrah sekaligus ujian atau cobaan dari Allah SWT.
2. Bahwa antara aqidah dan tauhid adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya..
3. Yang paling pokok dalam menanamkan tauhid pada anak sejak dini adalah memperkenalkan Allah SWT dengan segala sifat (atribut) yang menyertainya kepada anak agar memprcayai dan meyakini adanya Allah SWT. Bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tidak boleh menyekutukan Allah dengan apapun, memperkenalkan asmau husna, membiasakan untuk selaluberibadah kepada Allah dan mengajarkan akhlak kepada mereka.
B. Saran
Demikianlah makalah yang sderhana in masih banyak kekurangan di sana sini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Syukron jazila.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996
Al Jibouri, Yasin T., Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003.
Sulaiman Al Kumayi, Syarah Al Hikam : Cahaya Hati Penenteram Jiwa (Pesan-pesan Spiritual Ibnu Atha'ilillah, Pustaka Nuun, Semarang, 2005.
Asy Syaikh Fuaim Musthafa, Manhaj Pendidikan anak Muslim, Mustaqim, Jakarta, 2004.
At Toumy As Syaibany, Omar Mohammad Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Ballantine Irving, Thomas, dkk., Al-Qu’an Tentang Akidah & Segala Amal Ibadah Kita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Ensikklopedi Islam, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Jilid 5 cet. Ke 4, Jakarta, 1997
----------------------, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Suplemen 1 cet. Ke 4, Jakarta, 1997
Husin Al Munawar, Said Agil, Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur’an Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat Press, Ciputat, 2005
HM. Arifin, Ilmu pendidikan Islam : Suatu tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
Ibnul Qayyim, Pesan-pesan Spriritual Ibnu Qayyim (disadur oleh Nabhani Idris), Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Qardawy,Yusuf, Membumikan Syari’at Islam, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997.
Abdur Rahman, Jamal, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, Irsyad Baitus Salam, bandung, 2005.
Sulaiman al Asyaqar, Umar, Al- Asma al Husna, Qisthi Press, Jakarta, 2006
Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi : Al Asma al Husna dalam Perspektif al Qur'an, Lentera Hati, Jakarta 2006
--------------------, Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera Hati, Mizan, Bandung, 2007.hlm. 91
Untung, Moh. Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2005.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang , Jakarta, 1996




MENANAMKAN SIKAP TAUHID
SEJAK DINI PADA ANAK



Makalah
Disampaikan sebagai bahan diskusi Mata Kuliah Tauhid
Program Magister Studi Islam



Dosen Pengampu :
Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA.




















Oleh :
Munirul Ihwan
NIM. O75112049







PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO SEMARANG
2007



BAB I
PENDAHULUAN

C. Latar Belakang Masalah
Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu Tawhid yang berarti meng-Esa-kan. Tauhid adalah meyakini adanya Allah SWT dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat syahadat ‘la ilaaha illallah “ (Tidak ada Tuhan selain Allah). Kata tauhid adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau wahhada yang merupakan derivasi (asal-usul kata) dari akar kata wahdah yang berarti ke-Esa-an, kesatuan, dan persatuan.[25]
Pokok-pokok tauhid setidaknya ada tiga hal yaitu ; ma’rifat al mabda’, ma’rifat al watsitah, dan ma’rifat al ma’ad.[26]
Ma’rifat al mabda’ adalah mempercayai dengan sepenuh hati tetntang pencipta alam, Allah Yang Maha Esa. Hal ini sering diartikan dengan wujud yang sempurna (wujud mutlak) atau wajib al maujud. Alam adalah makhluk Allah yaitu segala sesuatu selain Allah.[27]
Ma’rifat al watsitah adalah mempercayai dengan sepenuh hati dan keyakinan tentang para utusan Allah SWT yang menjadi ututsan dan perantara Allah SWT dengan umat manusia, tentang kitab-kitab-nya, dan tentan malaikat-nya.
Ma’rifat al ma’ad adalah mempercayai dengan penuh keyakinan akan adanya kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal ikhwalnya.
Yang paling pokok dalam tauhid adalah mengenal Allah SWT dengan segala sifat yang menyertai-Nya atau disebut ma’rifatullah. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“ barang siapa diantara kalian yang paling mengenal Allah , maka dia yang paling takut kepada-Nya, dan aku bahkan lebih takut kepada-Nya”.
Artinya pada saat orang mengetahui bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Berkehendak dan sebagainya, maka apalah artinya sepotong jiwa manusia di hadapan Allah SWT. Apa yang dapat dibanggakan di hadapan Allah dari diri manusia ini. Mengenal Allah dengan sebenarnya merupakan pilar penyangga segenap bangunan Islam. Karena mengenal Allah adalah essensi dari Islam itu sendiri.[28] Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika tauhid itu dikenalkan sejak diri kepada anak-anak kita demi membangun pondasi keimanannya yang kuat pada diri mereka.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka pembahasan makalah ini diarahkan kepada menjawab permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Islam terhadap anak ?
2. Apa Pengertian Tauhid dan Akidah ?
2. Bagaimana Menanamkan Tauhid kepada anak sejak dini ?

BAB II
PEMBAHASAN

C. Anak dalam Pandangan Islam
1. Anak sebagai Ujian
Anak sebagai ujian bagi para orang tua ini mengandung maksud bahwa apakah kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga akan membuat orang tua menjadi lebih bertaqwa kepada Allah, atau sebaliknya justru kehadiran anak membuat kecintaan orang tua kepada anak menjadikan orang tua lupa kepada Allah atau setidaknya berkurang. Padahal Allah telah berfirman dengan jelas bahwa diciptakan jin dan manusia itu adalah untuk mengabdi kepada Allah. Sehingga jika kehadiran anak bagi orang tua justru membuatnya lupa kepada Allah maka itulah orang tua yang tidak lulus dalam ujian ini. Allah befirman :
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٢٨﴾
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al Anfaal : 28)[29]


Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar ( QS.At -Taghaabun : 15)[30]
Dapat dipahami bahwa orang tua akan mendapatkan pahala yang besar apabila kehadiran anak dalam hidup seseorang membuatnya lebih taat kepada-Nya. Dan sebaliknya kecintaan kepada anak sampai-sampai membuat orang tua lupa kepada Allah maka tiadalah azab yang pedih melebihi azab Allah SWT.

2. Anak sebagai Amanah dan Anugerah
Anak merupakan amanah sekaligus anugrah bagi kedua orang tuanya. Islam telah menuntunkan kepada setiap orang tua untuk bertanggung jawab atas amanah tersebut. Orang tua yang shaleh dan shalehah merupakan madrasah terbaik yang dapat mempersiapkan generasi yang shalih, tokoh-tokoh masa depan yang tangguh, lurus aqidahnya, serta mulia akhlaknya. Berusaha memberikan pendidikan terbaik sejak dini bagi anak-anaknya adalah suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantas, dari mana kita harus memulainya, dan bagaimana caranya ?
Sebagai orang tua hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung jawab mereka di hadapan Allah SWT terhadap pendidikan putra-putrinya terutama dalam hal keimanan.
Tentang perkara ini, Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)[31]

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وكلكم َمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِه
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban”
Dalam sabdanya yang lain Rasulullah mengatakan :
"Orang yang mendidik anaknya itu lebih baik dari pada ia bersedekah dengan satu gantang". Sabdanya pula: "Tidak ada pemberian seorang ayah terhadap anaknya yang lebih utama dari pada pendidikan moral yang lebih baik". (HR. Tirmidzi).
Orang tua adalah yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan keagamaan anak-anak mereka. Termasuklah bertanggung jawab terhadap masalah ketauhidannya. Apabila anak menjadi orang yang tidak taat dan patuh terhadap syari'at Allah maka orang tua akan menanggung dosa dari perbuatan anaknya akibat tidak mejaga amanah Allah SWT. Hal ini terjadi apabila orang tua memang tidak pernah mengajarkan (menanamkan) bagaimana cara-cata taat dan patuh terhadap syari'at Allah SWT.
Lain halnya jika orang tua sudah berusaha mengajarkan tentang keimanan dan semua yang berhubungan dengan cara berbakti kepada Allah namun anak tidak juga mau melaksanakan syari'at Allah maka orang tua dalam hal ini tidak bersalah dan kita ingat bahwa hidayah adalah hak Allah untuk memberikan atau tidak kepada hamba-hamba-Nya termasuk terhadap anak-anak orang Islam. Kita ingat bagaimana kisah Nabi Nuh, betapapun ia seorang nabi tapi anaknya Kan'an tidak juga beriman kepada Allah. Juga bagaimana Rasulullah Muhammad SAW yang bersedih pada saat beliau tidak berhasil membuat pamannya Abu Tholib yang sampai meniggalnya belum bertauhid kepada Allah. Jika orang tua sudah secara maksimal berusaha menanamkan tauhid kepada putra-putrinya maka inilah yang dimaksud menjaga mereka (putra-putrinya) dari siksa api neraka.
Mengingat bahwa hidayah hanyalah hak Allah, maka tugas orang tua hubungannya dengan pendidikan atau penanaman tauhid atau keimanan adalah tetap berusaha semaksimal mungkin dengan metode-metode yang dianggap dapat mempermudah proses pendidikan itu. Dalam hal ini juga termasuk meminta bantuan (menyekolahkan anak-anaknya) pada guru, tokoh agama, ulama atau orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang keagamaan, apabila orang tua tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam hal keagamaan.
Sebagaimana kewajiban dalam bidang jasmani memberi makan, minum, dan pakaian kepada anaknya, setiap orang tua wajib memperhatikan dan menyuburkan hati mereka dengan ilmu dan iman serta memakaikan pakaian taqwa pada ruhaninya. Sambil jangan lupa bermohon kepada Allah agar Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita dan anak kita.


وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً ﴿٧٤﴾
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al Furqan : 74)

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء ﴿٤٠﴾
"Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do`aku. (QS. Ibrahim : 40)[32]

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاء ﴿٣٨﴾

"Di sanalah Zakaria mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a". (QS. Ali Imran : 38)[33]
Anak adalah amanat bagi orang tuanya. Mereka bertanggung jawab atas pendidikan, agama, dan akhlak anak-anaknya. Anak-anak yang baik akan menjadi permata hati bagi mereka di dunia dan akhirat. Firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucunya yang ikut beriman, kami gabungkan anak cucu itu dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya" (QS. Ath Thuur [52]:21).
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿٢٠﴾
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS.Al Hadid : 20)

D. Antara Akidah dan Tauhid
1. Akidah
a. Pengertian akidah
Akidah berakar dari kata 'aqada ya'qidu yang berarti mengikatkan atau menyimpulkan dan mengadakan perjanjian. Atau juga dapat diartikan dengan mempercayai, meyakini (keyakinan). Istilah aqidah semakna dengan I'tikad atau dalam bahasa inggris disebut dengan dogma.[34]
Aqidah Islamiyah selalu berhubungan dengan persoalan utama tentang keimanan sebagaimana tercantum dalam rukun Iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir serta qada qadar.[35] Islam dibangun dengan tiga perkara yaitu ; akidah, syari;at dan akhlak. Aspek akidah merupakan aspek yang sangat fundamental (mendasar) dalam Islam dan berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan (keimanan) dan kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib.[36]
Jika demikian, maka akidah adalah keimanan atau keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap yang mengaku dirinya muslim. Iman dan yakin terhadap yang ghaib yaitu; iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Kitab-kitab, hari qiyamat serta qada dan qadar. Atau yang lazim disebut dengan rukun iman.
b. Manfaat menanamkan aqidah pada anak
Setidaknya ada 7 manfaat yang dapat dipetik dari upaya menanamkan akidah pada anak sejak dini yaitu ; [37]
8) Memperkokoh keyakinan akan ke-Esaan Allah pada anak
9) Meyakini ke-Esa-an Allah dalam dzat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya.
10) Agar anak merasakan ketenangan dan keseimbangan diri.
11) Anak akan bangga karena telah menganut agama yang agung ini, merasa berarti dan mulia dalam hidup ini sebagai manusia.
12) Membentuk kepribadian dan prilaku-prilaku Islami.
13) Menciptakan pemahaman yang benar dan rasional.
14) Menghindari dari hal –hal yang brsifat bid'ah dan khurafat yang dapat menghancurkan akidah dalam diri anak.

2. Tauhid
Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu Tawhid yang berarti meng-Esa-kan. Tauhid adalah meyakini bahwa Allah SWT itu esa adanya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kesaksian ini dirumuskan dalam kalimat Syahadat ‘La ilaaha illallah “ (Tidak ada Tuhan selain Allah). Kata tauhid adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau wahhada yang merupakan derivasi (asal-usul kata) dari akar kata wahdah yang berarti ke-Esa-an, kesatuan, dan persatuan.[38]
Pokok-pokok tauhid setidaknya ada tiga hal yaitu ; ma’rifat al mabda’, ma’rifat al watsitah, dan ma’rifat al ma’ad. Ma’rifat al mabda’ adalah mempercayai dengan sepenuh hati tetntang pencipta alam, Allah Yang Maha Esa. Hal ini sering diartikan dengan wujud yang sempurna (wujud mutlak) atau wajib al maujud. Alam adalah makhluk Allah yaitu segala sesuatu selain Allah.[39] Ma’rifat al watsitah adalah mempercayai dengan sepenuh hati dan keyakinan tentang para utusan Allah SWT yang menjadi utusan dan perantara Allah SWT dengan umat manusia, tentang kitab-kitab-Nya, dan tentang Malaikat-Nya. Ma’rifat al ma’ad adalah mempercayai dengan penuh keyakinan akan adanya kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal ikhwalnya.
Yang paling pokok dalam tauhid adalah mengenal Allah SWT dengan segala sifat (atribut) yang menyertainya atau disebut ma’rifatullah. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“ barang siapa diantara kalian yang paling mengenal Allah , maka dia yang paling takut kepada-Nya, dan aku bahkan lebih takut kepada-Nya”.
Artinya pada saat orang mengetahui bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Berkehendak dan sebagai, maka apalah artinya sepotong jiwa manusia dihadapan Allah, apa yang dapat dibanggakan di hadapan Allah dari diri manusia ini. Mengenal Allah dengan sebenarnya merupakan pilar penyangga segen bangunan Islam. Karena mengenal Allah adalah essensi dari Islam itu sendiri.[40] Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika tauhid itu dikenalkan sejak diri kepada anak-anak kita demi membangun pondasi keimanannya yang kuat.
Dapat disimpulkan bahwa antara akidah dan tauhid adalah dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan, mengingat akidah adalah pondasi dasar dalam kehidupan beragama Islam yang berisi konsep-konsep keimanan. Sedangakan tauhid adalah hal pertama yang harus diimani atau dimiliki keyakinannya oleh setiap muslim yaitu keyakinan atau keimanan terhadap Allah SWT berikut dzat dan sifat-sifat yang melekat pada-Nya. Keyakinan akan Ke-Esaan Allah adalah orientasi dari penanaman nilai-nilai tauhid kepada anak sejak dini.

C. Pentingnya menanamkan tauhid sejak dini
Tugas manusia adalah sebagai 'abdullah' merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti ; memelihara kewajiban-kewajiban dari Allah yang harus dilaksanakan dan menjauhi larangan-larangan, memelihara kalimat tauhid atau Laa ilaaha illallah atau ma'rifah kepada Allah.[41]
Oleh karena itu pendidikan tauhid sejak dini pada anak merupakan dasar pendidikan agama Islam yang diharapkan dapat membentuk nilai-nilai pada diri anak setidaknya unsur-unsur agama Islam yaitu ;[42]
1. Keyakinan atau kepecayaan terhadap Ke-Esa-an Allah (adanya Tuhan) atau kekuatan ghaib tempat berlindung dan memohon pertolongan.
2. Melakukan hubungan sebaik-baiknya dengan Allah guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.
3. Mencintai dan melaksanaan perintah Allah serta larangan-Nya, dengan beribadah yang setulus-tulusnya dan meninggalkan segala yang tidak diizinkan-Nya.
4. Meyakini hal-hal yang dianggap suci dan sakral seperti kitab suci, tempat ibadah dan sebagainya

Ada dua hal pokok tauhid yang harus kita ajarkan sejak dini kepada anak-anak muslim yaitu ;
Pertama, tauhid rububiyah. Tauhid dalam konteks ini lebih mengarah pada mengenalkan pemahaman bahwa Allah adalah yang menciptakan semua makhluk dan Allah juga sebagai tempat bergantung memohon pertolongan.
Kedua, tauhid uluhiyah. Tauhid dalam konteks ini adalah meyakini bahwa Allah satu-satunya yang wajib disembah. Kedua pokok tauhid ini harus diajarkan bersamaan agar anak sejak dini telah memiliki kepahaman dan dapat mengerti tanggung jawab dan kewajiban dari tauhid tersebut.
Oleh karena itu jelas sangat urgen menanamkan tauhid pada anak sejam dini. Dan paling tidak ada dua cara yang efektif untuk mengenalkan konsep tauhid kepada anak.
Pertama, kenalkan ciptaan-Nya. Dengan cara ini anak diajak berdialog dan berdiskusi untuk mengenal dan mensyukuri segala ciptaan-Nya. Selain itu, cara ini pun efektif untuk melatih anak memikirkan dan mengambil pelajaran dari segala yang diciptakan-Nya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya :
''Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.'' (QS 3: 190).[43]
Dalam ayat lainnya Allah berfirman:
''Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.'' (QS 16: 12-13).[44]

Kedua, dengan pendidikan dan contoh atau tauladan. Pendidikan dalam konteks ini adalah anak diajarkan tentang kewajiban-kewajiban manusia sebagai makhluk untuk melakukan ragam ibadah kepada Allah. Sedangkan contoh adalah orang tua memberikan teladan bagaimana caranya beribadah dan menjelaskan bahwa beribadah itu menyembah atau berbakti kepada Allah. Misalnya, anak sejak dini telah dilatih shalat dan dikenalkan dengan Al-Qur'an serta masih banyak lagi yang lainnya.
Menanamkan Tauhid merupakan manhaj para Nabi. Dengan landasan tauhid inilah Rasulullah SAW berhasil mentarbiyah para sahabatnya, mengentaskan mereka dari kebodohan dan kemusyrikan menjadi generasi terbaik yang menorehkan tinta emas bagi sejarah kejayaan kaum muslimin.
Apabila orang tua berhasil menanamkan tauhid pada setiap dada anak-anaknya, berarti mereka telah mempersiapkan sebuah bangunan dengan fondasi yang kokoh dan kuat bagi kehidupan keagamaan bagi anak-anaknya.
Pentingnya menanamkan tauhid sejak dini tercermin dalam cerita Luqman Al Hakim yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Jamal Abdul Rahman menguraikan pesan Luqman Al Hakim dalam Al Qur'an itu sebagai berikut ;[45]
1) Jangan mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar ;
2) Allah akan memberi balasan terhadap semua amal perbuatan manusia walaupun seberat biji zarrah, karma Allah maha halus dan Maha Mengetahui.
3) Mengerjakan sholat, menganjurkan berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar serta bersabar, karena hal itu adalah yang diwajibkan oleh Allah.
4) Jangan sombong dan angkuh di muka bumi ini, karena Allah tidak suka orang yang somong lagi membaggakan diri.
5) Sederhanakan dalam berjalan dan pelan atau lunak dalam berbicara.
Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak yang dicontohkan oleh beliau
Untuk itu orang tua harus tahu apa dan bagaimana metode dalam menanamkan tauhid kepada anak sejak dini sebagimana yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad SAW.:
6. Menjelaskan makna La Ilaha Illallah. Orang tua harus menjelaskan hakikat tiada tuhan selain Allah. Yaitu bahwa Allah adalah Tuhan dan tidak ada Tuhan lain di alam ini selain-Nya. Dialah yang menciptakan, meguasai dan mengatur hidup dan matinya alam ini. Allah SWT berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS. Al Ikhlash : 1-4)[46]

Kalimat La Ilaha Illallah adalah kalimat tauhid yang mencakup keseluruhan dari agama yang telah dibawa oleh para Rasulsesuai dengan wahyu yang diterima mereka dari Allah. Kalimat yang paling agung yang menunjukkan kemandirian Allah dalam ke-Esaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al An'am 19 : " Tuhan yang maha Esa dan sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". Juga dalam QS.Al An'am 106 " Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu. Tidak ada Tuhan selain dia "[47] dan masih banyak lagi ayat serupa.
Allah adalah satu-satunya zat yang berhak disembah. Hak itu tidak dimiliki selain dari Allah. Tidak pada matahari, bulan bintang, pohon, batu api dan sebagainya. Allah sebagai satu-satunya dzat yang Maha Hidup yang selalu mengawasi dengan kekuasaan-Nya tanpa disertai rasa kantuk dan tidur. Atas izin-Nyalah semua yang terjadi di alam ini.
لااله الا الله itulah kalimat tauhid yang artinya adalah "Tiada Tuhan Selain Allah". Kalimat itulah yang akan kita tanamkan essensinya kepada anak-anak sejak dini. Agar kelak anak-anak kita dapat mengemban amanah dan tujuan hidup ini yaitu mengabdi (beribadah) kepada Allah. Sebagaimana firman Allah yang artinya;
"Tidaklah Aku Ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku"
Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda,
''Jadikanlah kata-kata pertama yang diucapkan seorang anak adalah kalimat لااله الا الله (tiada Tuhan selain Allah), dan bacakanlah pada mereka ketika menjelang mati kalimat لااله الا الله (tiada Tuhan selain Allah).'' (HR Hakim dari Ibn Abbas).
Hadits di atas merupakan perintah kepada kita untuk mengenalkan dan menanamkan konsep tauhid, لااله الا الله sejak dini kepada anak-anak kita. Hadis di atas pun merupakan isyarat bahwa tauhid dan akidah yang benar merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia hingga menjelang kematiannya.
Tuhan yang diperkenalkan Al-Qur'an (yaitu Allah SWT) tidak dalam sesuatu yang bersifat materi, karena jika demikian pastilah Allah berbentuk, bila Allah berbentuk pastilah terbatas dan membutuhkan tempat. Sedangkan Allah itu tidak berbentuk sesuatu dan tidak pula terbatas. Akan tetapi agar manusia menjadi tentram hatinya dan dapat memahami-Nya serta meyakini wujud-Nya maka Al-Qur'an mengenalkan Allah dengan sifat-sifat-Nya yang dapat dijangkau oleh akal manusia.[48] Karena itulah maka dari Al-Qur'an didapatkan nama-nama Allah yang bermaksud memperkenalkan sifat-sifat-Nya yang terkenal dengan asma al husna.
7. Menjelaskan makna latusyriku bihi syai'an. Yaitu bahwa tidak satupun boleh disekutukan terhadap Allah, karena barang siapa yang menyekutukan Allah maka ia akan mendapatkan dosa besar karena ia adalah dosa syirik. Sebagaimana firman Allah :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)
Oleh karena itu, di dalam Al-Qur'an pula Allah kisahkan nasihat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”.(Luqman: 13)
8. Mengenalkan sifat-sifat Allah dan nama-nama Allah (asmaul husna) agar timbul kecintaan dan kebanggaan anak terhadap Allah atas segala sifat keagungan dan kemuliaan Allah yag mulai mereka kenal.
Rasulullah SAW sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas ra. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita;
“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.

Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah SAW kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid. Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah tentang dimana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita, dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit. Dalilnya antara lain,
“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5) Makna istiwa' adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in.
Adapun dari hadits, Rasulullah SAW bertanya kepada seorang budak wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”. Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud)
9. Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Mulai dari tatacara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya. Aqidah dianggap sebagai landasan utama syariat Islam karena aqidahlah yang akan membentuk sikap mental setiap individu muslim.
Membiasakan anak mengerjakan berbagai macam ibadah, seperti shalat, puasa, shalat berjamaah di masjid, menghapalkan Qur'an dan hadits, serta berhijab (bagi anak putri) Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
"Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena shalat ini sedang mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka." (HR. Abu Dawud dan Hakim)

10. Mengajarkan akhlak yang mulia. Yaitu dengan mengajarkan sunnah Rasulullah SAW mengenai bagaimana Rasul makan, minum, ke belakang, bergaul dengan sesama, tidur, berbicara dan sifat-sifat Rasul yaitu Siddiq Amanah, Tabligh dan Fathonah serta masih banyak lagi akhlak Rasulullah lainnya.

BAB IV
PENUTUP

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan tentang menanamkan tauhid kepada Anak sejak dini bahwa :
1. Anak adalah rizki, amanah, anugrah sekaligus ujian atau cobaan dari Allah SWT.
2. Bahwa antara aqidah dan tauhid adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya..
3. Yang paling pokok dalam menanamkan tauhid pada anak sejak dini adalah memperkenalkan Allah SWT dengan segala sifat (atribut) yang menyertainya kepada anak agar memprcayai dan meyakini adanya Allah SWT. Bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tidak boleh menyekutukan Allah dengan apapun, memperkenalkan asmau husna, membiasakan untuk selaluberibadah kepada Allah dan mengajarkan akhlak kepada mereka.
D. Saran
Demikianlah makalah yang sderhana in masih banyak kekurangan di sana sini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Syukron jazila.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996
Al Jibouri, Yasin T., Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003.
Sulaiman Al Kumayi, Syarah Al Hikam : Cahaya Hati Penenteram Jiwa (Pesan-pesan Spiritual Ibnu Atha'ilillah, Pustaka Nuun, Semarang, 2005.
Asy Syaikh Fuaim Musthafa, Manhaj Pendidikan anak Muslim, Mustaqim, Jakarta, 2004.
At Toumy As Syaibany, Omar Mohammad Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Ballantine Irving, Thomas, dkk., Al-Qu’an Tentang Akidah & Segala Amal Ibadah Kita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Ensikklopedi Islam, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Jilid 5 cet. Ke 4, Jakarta, 1997
----------------------, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Suplemen 1 cet. Ke 4, Jakarta, 1997
Husin Al Munawar, Said Agil, Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur’an Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat Press, Ciputat, 2005
HM. Arifin, Ilmu pendidikan Islam : Suatu tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
Ibnul Qayyim, Pesan-pesan Spriritual Ibnu Qayyim (disadur oleh Nabhani Idris), Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Qardawy,Yusuf, Membumikan Syari’at Islam, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997.
Abdur Rahman, Jamal, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, Irsyad Baitus Salam, bandung, 2005.
Sulaiman al Asyaqar, Umar, Al- Asma al Husna, Qisthi Press, Jakarta, 2006
Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi : Al Asma al Husna dalam Perspektif al Qur'an, Lentera Hati, Jakarta 2006
--------------------, Kisah dan Hikmah Kehidupan Lentera Hati, Mizan, Bandung, 2007.hlm. 91
Untung, Moh. Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2005.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang , Jakarta, 1996




MENANAMKAN SIKAP TAUHID
SEJAK DINI PADA ANAK



Makalah
Disampaikan sebagai bahan diskusi Mata Kuliah Tauhid
Program Magister Studi Islam



Dosen Pengampu :
Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA.




















Oleh :
Munirul Ihwan
NIM. O75112049







PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO SEMARANG
2007




[1]Ensikklopedi Islam, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Jilid 5 cet. Ke 4, Jakarta, 1997 hlm. 90
[2] Ibid
[3]At Toumy As Syaibany, Omar Mohammad Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jkarta, 1979, hlm. 58
[4] Al Jibouri, yasin T.,Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003,hl 33-34

[5]Al-Qur'an dan Terjemahanya, Departemen Agama RI, Toha Putra, Semarang , 1989.
[6]Ibid
[7]Ibid
[8]Al Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Toha Putra, Semarang, 1989
[9]Ibid
[10] Suplemen Ensiklopedi Islam 1, PT. ICHTIAR BARU Van Hoeve cet. Ke 9, Jakarta, 2003.hlm. 24-25
[11] Slamet Untung, Muhammad sang Pendidik : PengantarAbdurahman Mas'ud, Pustaka Rizki, Semarang, 2002, hlm. 96
[12]Ibid.
[13]Asy Syaikh Fuaim Musthafa, Manhaj Pendidikana Anak Muslim, Mustaqiim, Jakarta, 2004. hlm.72-73
[14] Ensikklopedi Islam, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Jilid 5 cet. Ke 4, Jakarta, 1997 hlm. 90
[15] At Toumy As Syaibany, Omar Mohammad Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 58
[16] Al Jibouri, yasin T, Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003, hlm, 33-34

[17] Muhaimin, Paradigama Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.hlm. 21
[18] Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur'an dalam Sistem Pendidikan Islam. Ciputat Press, Ciputat, 2005, Hlm. 27-28
[19] Al Qur'an dan Terjemahanya, Op cit.
[20] Ibid
[21]Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, Irsyad Baitus Salam, bandung, 2005, hlm., 339-345
[22] Al-Qur'an dan Terjemahannya, Op. cit.
[23] Umar Sulaiman al Asyaqar, Al Asma al Husna, Qisthi Press, Jakarta 2006, hlm. 25-26
[24]M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi : Al Asma al Husna dalam Perspektif Al Qur'an, Lentera Hati, Jakarta 2006. hlm. Xxiv.
[25]Ensikklopedi Islam, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Jilid 5 cet. Ke 4, Jakarta, 1997 hlm. 90
[26] Ibid
[27]At Toumy As Syaibany, Omar Mohammad Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jkarta, 1979, hlm. 58
[28] Al Jibouri, yasin T.,Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003,hl 33-34

[29]Al-Qur'an dan Terjemahanya, Departemen Agama RI, Toha Putra, Semarang , 1989.
[30]Ibid
[31]Ibid
[32]Al Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Toha Putra, Semarang, 1989
[33]Ibid
[34] Suplemen Ensiklopedi Islam 1, PT. ICHTIAR BARU Van Hoeve cet. Ke 9, Jakarta, 2003.hlm. 24-25
[35] Slamet Untung, Muhammad sang Pendidik : PengantarAbdurahman Mas'ud, Pustaka Rizki, Semarang, 2002, hlm. 96
[36]Ibid.
[37]Asy Syaikh Fuaim Musthafa, Manhaj Pendidikana Anak Muslim, Mustaqiim, Jakarta, 2004. hlm.72-73
[38] Ensikklopedi Islam, PT. Ichtiar baru VAN HOEVE, Jilid 5 cet. Ke 4, Jakarta, 1997 hlm. 90
[39] At Toumy As Syaibany, Omar Mohammad Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 58
[40] Al Jibouri, yasin T, Konsep Tuhan Menurut Islam, Lentera, Jakarta, 2003, hlm, 33-34

[41] Muhaimin, Paradigama Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.hlm. 21
[42] Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur'an dalam Sistem Pendidikan Islam. Ciputat Press, Ciputat, 2005, Hlm. 27-28
[43] Al Qur'an dan Terjemahanya, Op cit.
[44] Ibid
[45]Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, Irsyad Baitus Salam, bandung, 2005, hlm., 339-345
[46] Al-Qur'an dan Terjemahannya, Op. cit.
[47] Umar Sulaiman al Asyaqar, Al Asma al Husna, Qisthi Press, Jakarta 2006, hlm. 25-26
[48]M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi : Al Asma al Husna dalam Perspektif Al Qur'an, Lentera Hati, Jakarta 2006. hlm. Xxiv.